Follower

Rabu, 15 Desember 2010

THE MEMORIES AND THE TEARS

Saya kurang setuju dengan pepatah Inggris,"Time is money." Menurut saya, pepatah itu perlu tambahan satu kata lagi menjadi,"Time is more than money." Segala hal butuh waktu. Apakah waktu bisa dikatakan segalanya...
  • Saat itu hujan semakin deras, namun perjalanan masih sangat jauh. Perjalanan lebih dari 200km itu telah sering saya lakukan sendirian dengan sepeda motor. Turunnya hujan pun sudah biasa terjadi. Tetapi ada sesuatu di hari itu yang tidaklah biasa terjadi pada perjalanan saya sebelumnya. Seiring berputarnya roda sepeda motor dan rintik-rintik hujan menyentuh bumi, sebuah memori pun seakan ikut berputar membawa saya ke masa lalu. Entahlah, mungkin karena saya sedang sendirian atau langit yang semakin hitam. Semua muncul begitu saja dalam pikiran dan saya rasakan dalam jiwa saat itu. Seseorang telah meninggal dunia beberapa hari yang lalu. Seseorang lagi telah meninggalkan saya di kehidupan dunia ini. Ini adalah kisah tantang seorang guru, seorang penunjuk jalan. Dan saya merasa belum memberi penghargaan apa-apa atas jasa Beliau pada saya. Saya menyesali itu. Saya menangis di sebagian perjalanan itu.

  • Saat itu saya sangat buru-buru. Saya hampir terlambat ke tempat saya bekerja. Oleh karena itu saya bergerak mengendarai sepeda motor dengan sangat cepat dibandingkan semua pengendara kendaraan lain yang ada di sekitar saya. Sejujurnya, saya sendiri heran bagaimana saya bisa mengendarai sepeda motor secepat dan selincah itu dalam kondisi lalu lintas yang lumayan padat. Seakan sekejap dunia menjadi lambat di mata saya. Dan kondisi tersebut menyadarkan saya bahwa sebenarnya waktu berjalan sangatlah cepat. Akhirnya jiwa saya gelisah membayangkan akhir dari waktu yang tersisa untuk diri saya. Akhirnya saya menangis hingga sampai di tempat saya bekerja.

  • Satu lagi perjalanan 200km lebih. Pada 60km pertama saya terus-menerus memikirkan seseorang. Seseorang, yang jika ada seseorang yang bisa saya panggil kakak seutuhnya, saya pasti akan memanggilnya. Ia sangat periang, penyabar, penuh kasih sayang dan kehangatan seorang kakak. Ia adalah Kak Ani. Belakangan saya menyadari dan menyesali bahwa setiap pertemuan dengannya, selalu ia berusaha menjalin keakraban dengan saya, sedang saya cenderung bersikap tak acuh terhadapnya. Baiklah, saya memang begitu, saya memang cuek, terlebih ketika ada seorang wanita yang mencubit pipi saya. Namun saat ini dan di masa yang akan datang, setiap pertemuan dengannya akan saya rindukan. Beberapa kilometer lagi saya akan sampai ke rumahnya. Saya berniat mampir dulu sebelum meneruskan perjalanan. Ketika sampai, di beranda rumah itu saya disambut oleh Pakwa dan Miwa. Lalu Miwa mengantarkan saya ke halaman belakang. Ada tanah luas tak terpakai di sana, di antara batu-batu dan pepohonan tak terawat, saya di tinggalkan oleh Miwa. Sambil tersedu beliau berkata,"Miwa tinggal dulu ya...". Saat itulah badan saya seluruhnya merasa lemah, terduduk dan menangis melihat Kakak di tempat peristirahatan terakhirnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar