Maghrib menjelang Isya, telepon genggamku berbunyi. Ada panggilan dari nama kontak "SaSa". Setelah kuangkat dan kuucapkan salam, ia pun menjawab salam dengan suara yang begitu lemah yang kemudian diiringi oleh keheningan sejenak. Dalam hening sesaat itu aku tahu apa yang sedang terjadi padanya. Sebagai kekasihnya, aku ingin merasakan apa yang ia rasa. Ia dalam kesakitan, sesuatu yang ia pilih untuk tidak berbagi.
"Sayaang..."
"Tuaann..."
"Kaleuh bue...?"
"Kaleuh, sayang..."
"Pajan pajoh bue?"
"Beunoe..."
"Padup pireng adek pajoh bue?"
"Saboh."
Pembicaraan ini tak seperti biasanya. Nada suaranya semakin lemah, aku merasa tak sanggup mencoba membuatnya terus berbicara. Lalu aku pun terdiam sejenak, pedih rasanya mengetahui seseorang yang kusayangi dalam kesakitan yang memungkinkan apa pun terjadi.
Aku mencoba mengajaknya bicara lagi, karena tak banyak yang bisa kulakukan untuknya dalam jarak yang sejauh ini. Kuberharap seperti beberapa hari yang lalu ketika ia masih dapat tertawa mendengarkan lelucon lelucon yang kubuat kala berbicara dengannya melalui telepon. Beberapa hari yang lalu ia mengaku senang mendengarkan diriku bersenda gurau, seakan baginya tiada problema yang membebaninya apabila berbicara denganku.
.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar